Pemerintah Siap Tambah Utang ke Pertamina

Pemerintah Siap Tambah Utang ke Pertamina

Pemerintah menyebut siap menambah utang ke PT Pertamina (Persero) sebagai perusahaan penyalur Bahan Bakar Minyak (BBM) dan gas elpiji tiga kilogram (kg) bila kebutuhan anggaran subsidi energi bertambah. Hal itu dilakukan seiring dengan potensi peningkatan harga minyak dunia yang saat ini telah menyentuh kisaran US$49 sampai US$51 per barel.

Adapun angka harga minyak dunia tersebut telah melebihi proyeksi harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Palm Oils/ ICP) dalam asumsi makro pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2017 sebesar US$48 per barel.

Sehingga ini memberi potensi bertambahnya kebutuhan anggaran untuk subsidi energi dari pemerintah dan berimbas ke Pertamina yang selama ini menalangi lebih dulu tanggungan subsidi energi pemerintah.

“Kalau harga (minyak mentah) internasional naik, itu akan menjadi utang pemerintah (ke Pertamina),” ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu) Suahasil Nazara di kantornya, Senin (31/7).

Pasalnya, sambung Suahasil, bila harga minyak dunia meningkat sampai akhir tahun dan kemudian membuat kebutuhan anggaran subsidi energi bertambah, pemerintah tak bisa secara otomatis membatasi alokasi anggaran subsidi energi ke masyarakat dan lebih memilih menaikkan harga BBM dan LPG kepada masyarakat.

Hal ini lantaran pemerintah turut mempertimbangkan dampaknya pada laju inflasi dan daya beli masyarakat. Sebab, bila harga BBM dan LPG dinaikkan tentu langsung membuat kontribusi komponen tingkat harga yang diatur pemerintah (administered price) terhadap inflasi meningkat, seperti yang terjadi saat pemerintah menaikkan tarif dasar listrik (TDL) sebanyak tiga tahap pada Januari, Maret, dan Mei 2017.

Selanjutnya, dengan pengaruh inflasi yang tinggi tentu akan berpengaruh ke daya beli masyarakat karena mengerek alokasi pengeluaran masyarakat. “Kami memperhatikan berapa dampaknya kepada daya beli masyarakat, pertumbuhan ekonomi, dan dampaknya terhadap inflasi,” kata Suahasil.

Kendati begitu, lanjut Suahasil, kepastian bertambahnya kebutuhan anggaran subsidi energi masih terus dilihat dari pergerakan harga minyak dunia hingga akhir tahun.

Selain itu, kepastian kebutuhan anggaran subsidi energi masih menanti hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada akhir tahun ini dari hasil kebutuhan anggaran subsidi energi secara keseluruhan pada tahun ini.

“Kalau terjadi kenaikan harga sedikit, ya sudah tidak apa. Jangan terlalu reaktif, kami amati dulu. Nanti diaudit BPK untuk berapa yang sebenarnya terutang di 2017. Itu yang kemudian dicatat sebagai utang pemerintah kepada Pertamina,” terang Suahasil.

Adapun untuk utang pemerintah ke Pertamina sampai saat ini telah mencapai Rp28 triliun, di mana sebanyak Rp8 triliun akan dibayarkan ke perusahaan pelat merah tahun ini dari utang atas pemakaian BBM khusus untuk Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sedangkan, sisanya sekitar Rp20 triliun akan dibayarkan di tahun depan.

Di sisi lain, sesuai dengan komitmen yang telah diutarakan pemerintah mengenai penahanan harga BBM dan LPG sampai akhir September, disebut Suahasil masih sama. Selain itu, untuk TDL juga dipertahankan harganya sampai Desember 2017.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Askolani mengatakan, selain memperhatikan parameter harga minyak dunia dan ICP, pemerintah turut mempertimbangkan parameter nilai tukar (kurs) rupiah dan volume ketersediaan minyak dan gas (migas).

Adapun untuk parameter tersebut, kurs rupiah diasumsikan sebesar Rp13.400 per dolar Amerika Serikat (AS) dan volume BBM sebanyak 16,11 juta kiloliter (kl) serta volume LPG sebanyak 6,19 miliar kg.

Sementara, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adinegara melihat, ada potensi melesetnya alokasi anggaran subsidi energi yang dituangkan pada APBNP di tahun ini karena ada indikasi meningkatnya harga minyak dunia sampai akhir tahun. Pasalnya, pada APBNP 2017, anggaran subsidi energi hanya dipatok sebesar Rp89,96 triliun dengan asumsi ICP US$48 per barel.

Sedangkan merujuk pada realisasi penggunaan anggaran subsidi energi di tahun lalu dari Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2016 mencapai Rp106,8 triliun, padahal harga ICP lebih rendah, yaitu sebesar US$40 per barel. Artinya, ada potensi peningkatan anggaran subsidi energi di akhir tahun ini.

Adapun dengan potensi tersebut, Bhima menilai, langkah yang lebih baik diambil pemerintah memang menambah anggaran subsidi energi atau menambah utang ke Pertamina. “Solusinya ambil dari dana belanja pos lain,” kata Bhima kepada CNNIndonesia.com.

Pasalnya, kebijakan menaikkan harga BBM dan LPG jauh lebih tidak tepat karena akan memberi dampak pada laju inflasi yang masih terbilang tinggi dan daya beli masyarakat yang saat ini masih lesu.

“Kalau ada kenaikan harga BBM, itu dampaknya nanti ke administered price juga besar. Jadi, perlu diatur kembali kesiapan pemerintah menjaga harga BBM, LPG, dan listrik,” jelas Bhima.

Selain itu, Bhima juga melihat, penyesuian anggaran subsidi energi jauh lebih tepat dilakukan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), terutama di saat jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) pada 2019 mendatang.

Sebagai informasi, dalam APBNP 2017, pemerintah mematok alokasi anggaran subsidi BBM sebesar Rp10,01 triliun. Lalu, anggaran subsidi LPG sebesar Rp36,31 triliun.

Namun, alokasi anggaran yang diberikan sampai akhir tahun ini hanya sekitar Rp30,61 triliun. Hal ini lantaran ada pengalihan (carry over) anggaran subsidi sebesar Rp5,7 triliun di tahun depan.

Sedangkan, alokasi anggaran subsidi listrik yang disepakati sebesar Rp45,37 triliun. Sehingga secara keseluruhan anggaran subsidi energi sampai akhir tahun senilai Rp89,86 triliun, meningkat dari alokasi di APBN 2017 sebesar Rp77,31 triliun.

Sumber : CNN Indonesia

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.